Hak, Kewajiban dan Larangan Dalam Periode Krisis Rumah Tangga: Studi Terhadap Fenomena Barambangan dalam Adat Banjar
DOI:
https://doi.org/10.62976/ijijel.v2i1.445Keywords:
Banjar, Hukum, barambanganAbstract
Abstract
This study explores the Barambangan phenomenon in Banjar Customary Law during household crises in South Kalimantan. The research aims to understand the contributing factors to Barambangan and highlight misconceptions in society regarding its association with divorce. The research methodology involves case studies and a review of Indonesian marriage law, focusing on the conditions of ta'lik (conditional divorce).The results indicate that Barambangan often arises from economic difficulties, lack of communication within families, and third-party interventions. Despite physical separation, Barambangan is not divorce but a reconciliation process facilitated by third-party mediation. Societal views equating Barambangan with divorce lack legal basis, especially within the context of Law No. 1/1974.
In the context of Islamic law, family conflicts should be resolved through active negotiation and mediation by family or community leaders. In conclusion, Barambangan is not an automatic sign of divorce but a process toward reconciliation. A clear understanding of the distinction between Barambangan and divorce is crucial to avoid misconceptions in society.
Keywords: Banjar, law, barambangan
Abstrak
Penelitian ini mengkaji fenomena Barambangan dalam Hukum Adat Banjar selama krisis rumah tangga di Kalimantan Selatan. Tujuan penelitian adalah untuk memahami faktor-faktor penyebab Barambangan dan menyoroti pandangan masyarakat yang keliru tentang hubungannya dengan perceraian. Metode penelitian melibatkan studi kasus dan tinjauan terhadap hukum perkawinan Indonesia, dengan fokus pada kondisi ta'lik (perceraian berdasarkan syarat tertentu).Hasil penelitian menunjukkan bahwa Barambangan sering disebabkan oleh kesulitan ekonomi, kurangnya komunikasi dalam keluarga, dan campur tangan pihak ketiga. Meskipun fisik terpisah, Barambangan bukanlah perceraian, melainkan proses rekonsiliasi dengan upaya mediasi oleh pihak ketiga. Pandangan masyarakat yang menyamakan Barambangan dengan perceraian tidak berdasar hukum, terutama dalam konteks UU No. 1/1974. Dalam konteks hukum Islam, konflik keluarga seharusnya diselesaikan melalui negosiasi dan mediasi aktif oleh tokoh keluarga atau masyarakat. Kesimpulannya, Barambangan bukanlah tanda otomatis perceraian, melainkan proses menuju perdamaian. Pemahaman yang jelas mengenai perbedaan antara Barambangan dan perceraian penting untuk menghindari pandangan keliru di masyarakat.
Kata kunci: Banjar, Hukum, barambangan
Downloads
Published
Issue
Section
License

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.